Menurut The Liang Gie dalam bukunya "Garis besar estetika". Menurut asal katanya, dalam bahasa Inggris keindahan itu diterjemahkan dengan kata "beutiful" dalam bahasa Perancis "beau", sedang Italia dan spanyol "bello" berasal dari kata latin "bellum". Akar katanya adalah "bonum" yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi "bonellum" dan terakhir diperpendek sehingga ditulis "bellum
Menurut cakupannya orang hams membedakan antara keindahan sebagai suatu kwalita abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam bahasa Inggris sexing dipergunakan istilah beauty (keindahan) dan the beautiful (benda atau hal yang indah). Dalam pembatasan filsafat kedua pengertian itu kadang-kadang dicampuradukkan saja. Disamping itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian, yakni :
a) keindahan dalam anti yang luas
b) keindahan dalam arti estetis murni
c) keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan
Keindahan dalam arti luas merupakan pengertian semula dari bangsa Yunani dulu yang didalamnya tercakup pula kebaikan. Plato misalnya menyebut tentang watak yang indah dan hulcum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagi sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani dulu berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Tapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya 'symmetria' untuk keindahan berdasarkan penglihatan ( misalnya pada karya pahat dan arsitektur ) dan hannonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Jadi pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi :
— keindahan semi
— keindahan alam
— keindahan moral
— keindahan intelektual
Keindahan dalam arti estetis mumi menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Sedang keindahan dalam arti terbatas lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerapnya dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan wama.
nilai ekstrinsik dan instrinsikUnsur-unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih khusus lagi ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak menjadi bagian di dalamnya. Walaupun demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkannya. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya sastra, bagaimanapun, akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya. Bentuk penyampaian moral dalam karya fiksi mungkin bersifat langsung atau tidak langsung. Akan tetapi, sebenarnya pemilahan itu hanya demi praktisnya saja sebab mungkin saja ada pesan yang bersifat agak langsung. Dalam karya sastra mungkin sekali ditemukan adanya pesan yang betul-betul tersebunyi sehingga sulit untuk dirasakan. Yang dimaksud unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur pembangun karya sastra yang dapat ditemukan di dalam teks karya sastra itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud analisis intrinsik adalah mencoba memahami suatu karya sastra berdasarkan informasi-informasi yang dapat ditemukan di dalam karya sastra aitu atau secara eksplisit terdapat dalam karya sastra. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa suatu karya sastra menciptakan duianya sendiri yang berberda dari dunia nyata. Segala sesuatu yang terdapat dalam dunia karya sastra merupakan fiksi yang tidak berhubungan dengan dunia nyata. Karena menciptakan dunianya sendiri, karya sastra tentu dapat dipahami berdasarkan apa yang ada atau secara eksplisit tertulis dalam teks tersebut.Pada umumnya para ahli sepakat bahwa unsur intrinsik terdiri dariaTokoh dan penokohan/perwatakan tokohb. Tema dan amanatc. Latard. Alure. Sudut pandang/gaya penceritaaanBerikut ini akan dijelaskan secara ringkas unsur-unsur tersebut pengertian kontemplasi dan ekstansi
Seringkali kita mendengar dan melihat orang-orang yang telah lama bertekun dalam doa, bertumbuh dalam pengenalan akan Allah yang mengasihi mereka, sudah mengalami kemajuan dan perkembangan dari meditasi diskursif sampai kepada tahap doa batin, tetapi mereka tidak pernah mengalami kontemplasi. Mereka tetap melanjutkan dalam doa batin, dan “menempatkan” diri mereka dalam kehadiran Allah, mencoba untuk tetap tinggal dengan sadar dalam kehadiran Allah dan terus-menerus berada dalam kegelapan dan tidak pernah menanggapinya. Padahal mereka dapat mencapai suatu bentuk doa yang sebenarnya lebih luhur sifatnya yaitu kontemplasi. Mereka percaya pengalaman itu ada, namun mereka tidak merasakannya. Singkat kata, mereka ini tidak pernah masuk dalam kontemplasi yang mereka rindukan, pengalaman “ditangkap” oleh Allah, yang dikuasai oleh-Nya, atau menjadi satu oleh-Nya karena kerinduan jiwa adalah untuk bersatu dengan Allah. Karena mereka berusaha untuk mencapai kontemplasi itu yang tidak jarang membawa mereka keluar pada hidup doa yang selama ini telah mereka lakukan.
Perlu diketahui secara teologi mistik perbedaan antara mengalami dan masuk dalam kontemplasi tidak diakui. Alasannya, kontemplasi bukanlah alasan-alasan yang diskursif atau menyangkut pemikiran-pemikiran dan penalaran belaka. Akan tetapi, kontemplasi merupakan:
Perhatian dan kerinduan dalam kenyataannya sudah dialami; tidak secara langsung dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi bersifat spekulatif, netral, dan membahagiakan memandang kepada kebenaran itu sendiri.
Kebenaran mungkin sama sekali tidak diketahui, tetapi bermacam-macam argumen tidak menghancurkan apa yang disebut dengan “kebenaran” itu. Misalnya, dalam sebuah formula matematika mungkin “dikontemplasikan” sebagai suatu keindahan dan keanggunan. Kebenaran yang ditunjukkan sebagai kecantikan yang dapat disadari dan dilihat dari lukisan Picasso yang berjudul ‘Guernica’ dengan penuh perhatian yang disebut sebagai “pengalaman estetis.” Pengalaman estetis ini diungkapkan pengamat seni dalam sebuah keadaan terus-menerus dari kebahagiaan yang tak terlukiskan. Kebenaran adalah keindahan yang menimbulkan kesenangan yang sama. Untuk merasakan keindahan dan mengalaminya sendiri, kadang-kadang kita dapat meneteskan air mata bukan karena sedih tetapi lebih pada keterharuan yang melingkupi hati kita. Misalnya, kita melihat sebuah pasangan suami-istri merayakan ulang tahun perkawinan mereka yang ke-60 dan mereka saling mengungkapkan kebahagiaan mereka dengan ciuman yang mesra.
Begitu halnya dengan kontemplasi. Kontemplasi sungguh-sungguh dapat dialami dengan penuh kerinduan, ketika kebenaran wahyu Allah dapat dirasakan. Akan tetapi hal ini lebih bersifat adikodrati karena kerinduan ini tercipta dari perwujudan diri-Nya. Untuk menyebut Allah itu sebagai “Bapa” dibutuhkan karunia dari-Nya, yaitu pengangkatan menjadi anak Allah. Ketika kita merasakan Dia, kita membutuhkan iman untuk percaya kepada-Nya, harapan dari janji-janji-Nya, dan kasih yang menciptakan kita serupa dengan Dia. Karunia dan rahmat itu dicurahkan kepada kita, memenuhi seluruh keberadaan kita. Dengan demikian kita mengarahkan seluruh perhatian kita kepada Dia, kemudian mengalami dalam kehadiran-Nya yang membahagiakan dan menggembirakan. Mengalami kontemplasi masuk serta tinggal dalam kontemplasi yang menghasilkan kebajikan-kebajikan iman, harapan, dan kasih.
Masuk dalam kontemplasi dapat digambarkan sebagai berikut: “Masuk dalam kontemplasi dimulai ketika Allah membangkitkan daya-daya batin manusia, dan puncaknya sampai pada perkawinan atau persatuan rohani,” atau “Aktivitas mistik adalah karya Allah, yang mengilahikan jiwa kita sesuai dengan kehendak-Nya.” Masuk dalam kontemplasi, sesuai dengan namanya, adalah karunia yang diberikan Allah. Pada saat itu, karunia Allah yang melimpah-limpah membawa jiwa secara pasif menerima di bawah kuasa-Nya dan jiwa mengalami dibawa oleh Allah pada keadaan yang tidak pernah dialami manusia sebelumnya. Pengalaman yang sama ketika St. Paulus dibawa sampai ke “surga ketiga.” Dengan kata lain, masuk dalam kontemplasi merupakan karunia Allah semata-mata, dan tidak pernah diduga-duga sebelumnya. Doanya diubah tetapi orang yang mengalaminya tidak diubah.
Jiwa yang melatih diri untuk mengalami kontemplasi, tidak memiliki rasa dibawa oleh Allah atau ditangkap oleh-Nya atau kuasa Allah membimbing dalam doanya. Mengalami kontemplasi adalah gelap; jiwa harus sabar menunggu dalam kegelapan; perhatiannya pada kehadiran Allah, menerima dalam keadaan tidak sadar sebagai jawaban dari kehadiran Allah itu. Mengalami kontemplasi dialami pendoa karena pendoa mulai berdoa, jiwa terus-menerus berdoa. Jiwa terdorong untuk berjuang mencapai tujuan yang dicita-citakan. Seperti yang dikatakan pengarang The Cloud of Unknowing ‘kerja’ si pendoa, jiwa mengalami kontemplasi melalui pengalaman doanya. Dalam kerja itulah, jiwa adalah pekerja. Ia merasa dirinya sebagai pemeran atau aktor, bukan Allah. Sebenarnya jiwa salah mengerti karena Allahlah yang bekerja di dalamnya, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh pendoa tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar