Akhir-akhir ini bangsa Indonesia sering berteriak mengenai kesenian yang mereka miliki dipergunakan oleh negara lain. Tetapi terdapat suatu keanehan dimana bangsa Indonesia hanya merasa bangga dengan keseniannya akan tetapi, enggan mempelajari, menghargai, memahami kesenian yang dimilikinya tersebut. Sehingga, hal yang terjadi bangsa ini hanya mampu berteriak menangis apabila keseniannya diakui sebagai milik dari negara lain. Hal ini adalah sebuah indikasi dari lemahnya pertahanan kebudayaan kita, terutama dari aspek kesenian.
Meninjau dari hal sering terjadi diatas, marilah kita melihat secara positif terlebih dahulu dengan tidak mencacimaki negara lain. Untuk itu marilah kita sejenak keluar dari pemikiran yang sangat subjektif dan memandangnya dari segi perspektif yang berbeda. Sebagai permulaan kita bisa mengkaji dari fenomena permulaan masalah ini. Hal ini bermula dari keinginan tersembunyi Malaysia yang ingin menjadi induk dari kebudayaan melayu dengan dicetuskannya semboyan mereka yang terkenal yakni “Malaysia the Truly Asia”. Semboyan tersebut adalah sebuah keinginan untuk mengumpulkan bentuk-bentuk kesenian di Asia menjadi satu wadah. Hal ini dapat dianalogikan seperti sebuah kotak dengan isi permen coklat yang menawarkan berbagai macam rasa dan kemudian ditawarkan kepada masyarakat dunia. Tentu anda dapat membayangkan pemasukan devisa bagi negara Malaysia apabila hal itu terwujudkan.
Langkah awal di dalam usaha ini adalah tentu saja mengumpulkan bentuk-bentuk kesenian yang paling dekat dengan masyarakat Malaysia, dalam hal ini adalah kesenian dari akulturasi ras mongoloid yang antara lain: India, Cina, Arab, dan tentu saja Indonesia yang mana keempat bentuk kesenian ini ada sejak lama hidup dan berkembang di negara Malaysia. Akulturasi dari keempat bentuk tersebut melahirkan kesenian yang khas yang disebut sebagai kesenian Melayu. Kesenian ini mempunyai ciri khas yakni bernafaskan islami, menceritakan tentang nilai-nilai moral (tidak ada unsur ritual), dan tidak kompleks secara bentuk “garap” keseniannya. Kesenian ini menyebar melalui perdagangan-perdagangan pada masa lampau. Oleh sebab itu, kita dapat menjumpai kesenian ini masih kental berada pada daerah pesisiran. Karena mengingat betapa berharganya produk-produk kesenian bagi devisa negara Malaysia, maka mereka melakukan sebuah upaya untuk melindungi dan melestarikan kesenian mereka yang mana sebagai bentuk pertahanan kebudayaan mereka. Masih ingat dengan kasus klaim Reog? apakah mereka menamakan kesenian tersebut sama dengan kesenian asal ponorogo?. Hal ini memberi arti bahwa mereka melindungi kesenian asli mereka dan berusaha mempertahankannya dengan cara menamakan kesenian tersebut berbeda dengan kesenian asli yang berasal dari Indonesia.
Jika memang mereka melihat ada suatu devisa besar kepada negara melalui aspek pariwisata kesenian melalui kesenian melayu, lalu apa hubungan dengan pernyataan yang beredar bahwa tari pendet diklaim oleh Malaysia. Tentu Malaysia akan menjadi negara bodoh jika mereka melakukan klaim atas tari pendet. Hal ini wajar dikarenakan di dalam literatur kebudayaan melayu tidak satupun disebutkan tentang tari pendet, apalagi jika melihat dari ciri kesenian melayu yang sudah disebutkan diatas. Malaysia hanya sekedar menggunakan kesenian pendet sebagai bentuk promosi dari pariwisatanya. Tentu saja kita juga harus tetap waspada jika hal yang ditakutkan(klaim) akan benar-benar terjadi. Lalu siapa yang mempermasalahkan klaim yang begitu sangat hebat ini? Titik beratnya ada pada media masa. Media terkadang melansir sebuah berita yang belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya, dalam hal ini media terkadang melemparkan sebuah api kedalam semak tetapi tidak bertanggung jawab memadamkan api yang sudah terlalu membesar, yang mana menurut mereka hal tersebut adalah sebuah “Wacana” kepada publik.
Dari hal-hal terkait di atas dapat kita simpulkan bahwa masih ada masalah-masalah mengenai pembangunan kesenian kita sendiri. Seluruh bagian-bagian penting dari negara ini masih tercerai-berai dan tidak satu padu untuk menyelamatkan keseniannya sendiri dan cenderung menyalahkan satu sama lainnya. Berbeda dengan negara tetangga yang menyadari betapa pentingnya mempertahankan suatu indentitas kebudayaan dengan program “The truly Asia” melalui pembangunan keseniannya.
Bentuk Pertahanan Negara
Kejadian-kejadian yang sering terjadi seperti di atas adalah sebuah cerminan dari kurangnya pertahanan kebudayaan negara Indonesia. Garis pertahanan kita yang paling lemah adalah pada pertahanan kebudayaannya. Kita dapat membandingkan dengan negara-negara asing yang lebih kuat di dalam mempertahankan kebudayaannya, dan hasilnya adalah majunya peradaban mereka, karena mereka menyadari, memahami, dan mempelajari identitas atau jati diri mereka melalui pertahanan kebudayaan yang dimiliki. Tetapi kita seringkali menuding bahwa ini adalah sebuah “Westernisasi”, Apakah hal tersebut benar? Ataukah kita yang selalu mengimitasi dari kebudayaan mereka?
Untuk itu, perlu ada sebuah bentuk-bentuk pertahanan negara dari segi kebudayaannya, bukan hanya dari segi fisiknya saja yakni pertahanan secara militer semata. Lalu seperti apa bentuk-bentuk pertahanan negara?, hal itu dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Pengakuan Dunia Atas Hasil Kebudayaan Indonesia.Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang termasuk dalam masyarakat “non-literacy”. Oleh karena itu banyak ciptaan-ciptaan yang tidak diketahui penciptanya. Maka negara memutuskan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 BAB II LINGKUP HAK CIPTA, bagian ketiga mengenai hak cipta atas penciptanya yang tidak diketahui, yang menyebutkan bahwa semua bentuk ciptaan dari hasil kebudayaan rakyat dikuasai oleh negara. Hal ini seharusnya tidak hanya sebagai hal yang semata tercatat pada bab undang-undang hak cipta tetapi pemerintah sendiri mengupayakan adanya suatu bentuk perlindungan melalui pengakuan dunia terhadap kekayaan hasil kebudayaan yang dimiliki dan tidak hanya sebatas kepemilikan semata. Hal ini tercermin pada catatan “world heritage” tentang hasil kebudayaan Indonesia yang hanya ada beberapa diantaranya keris dan wayang. Sedangkan kita memiliki 300 kelompok etnis yang tentu saja memiliki kesenian dari hasil kebudayaannya. Baru akhir-akhir ini saja setelah bangsa ini terkena cambuk klaim maka negara sibuk mencatat, mendata, dan mendaftarkan hak patennya. Bagaimana dengan apresiasi masyarakat sendiri? kebanyakan hanya bersikap pasif saja dalam menanggapi dan menyalahkan satu sisi yakni pemerintah, tetapi masyarakat sendiri tidak pernah bertindak sebagai apresiator dari hasil kebudayaannya sendiri;
- Pembangunan kebudayaan melalui Pemeliharaan Kesenian. Negara ini lebih menitik beratkan pembangunan secara fisik semata tetapi tidak terhadap pembangunan secara kebudayaan. Pembangunan secara kebudayaan berarti pembangunan secara intelektualitas, kreativitas, dan kualitas yang terjamin salah satunya melalui jalan pemeliharaan kesenian. Pembangunan secara intelektual mengacu pada pendidikan sebagai bentuk pemeliharaan kesenian, yang mana hal itu diberikan secara menyeluruh pada bangku-bangku pendidikan di seluruh Indonesia mengenai pentingnya pemeliharaan kesenian. Pembangunan secara kreativitas dilakukan dengan jalan memacu para penggerak di balik kesenian tersebut dalam hal ini seniman untuk terus berkarya dan mendidik generasi selanjutnya sebagai penerusnya. Pembangunan semacam ini tidak semata hanya mendorong para seniman untuk terus berkarya tetapi juga memberikan ruang kepada mereka untuk bergerak lebih leluasa dan negara ini juga harus mengakui bahwa seniman adalah salah satu tonggak penopang dari pertahanan negara Indonesia melalui hasil-hasil karyanya serta memberikan kesejahteraan bagi mereka. Pembangunan secara kualitas adalah lebih menitik beratkan pada tingginya tingkat kualitas yang harus dicapai dan dijamin mutunya sehingga suatu karya seni memiliki nilai filosofis baik secara estetika di dalam bentuk esensi suatu kesenian. Sehingga karya seni yang muncul tidak lagi bersifat dangkal dan lebih mengacu pada pembangunan moral bangsa ini yang muncul dari dasar cita-cita budaya bangsa bukan lagi mengimitasi dari kebudayaan negara lain;
- Pembangunan SDM. Perlu ada sebuah penekanan bahwa pentingnya menjadi seorang apresiator dari hasil kebudayaan sendiri. Dalam hal ini adalah kesenian yang mana bisa saling memunculkan sebuah wacana kritik, yang terus akan memacu bagi perkembangan kesenian yang mana akan membuat efek mempertebal pertahanan budaya dari serangan bentuk-bentuk kebudayaan asing yang masuk pada era globalisasi ini. Sehingga kita lebih menghargai kebudayaan kita sendiri dengan jalan menjadi apresiator dari hasil kebudayaan kita sendiri dan bukan lagi menjadi apresiator dari kebudayaan bangsa lain. Kebudayan dari bangsa lain seharusnya menjadi sebuah orientasi bagi kita untuk berpikir memajukan dan mengembangkan kebudayaan kita sendiri melalui hal yang paling dasar yakni pembangunan SDM. Pembangunan SDM lebih menitik beratkan pada : pembangunan kesadaran secara pribadi yang lebih mengutamakan kewajiban dari pada hak, pembangunan moral SDM yang mencirikan kepribadian bangsa yang terhormat, pembangunan secara Intelektualitas SDM mengenai wawasan kebangsaan yang mana akan menumbuhkan semangat nasionalisme untuk mempertahankan kebudayaannya bersamaan dengan kedudukannya di dunia bersama negara lain.
Sebenarnya strategi pertahanan kebudayaan kita ini pernah dilangsungkan pada awal pemerintahan negara Indonesia tetapi bentuknya tidak halus dan seringkali membuat negara lain geram dengan kita. Sebagai contoh ungkapan bung Karno “go to the hell with your aid`s” yang maknanya pergilah dengan teori perekonomianmu, kami punya sistem sendiri didalam perekonomian kami. Bentuk pertahanan ini sudah dicetuskan sejak dulu, tetapi mengapa sekarang bangsa ini mengalami penurunan di dalam mempertahanan kebudayaannya?. Semoga tulisan ini dapat sekedar sebagai pemacu kita bersama untuk dapat mempertahankan tembok pertahanan kebudayaan negara ini
0 komentar:
Posting Komentar